Selasa, 03 November 2009

Aku Sayang Mama Dan Papa

“Ri…Tari…Ayo bangun!!! Sudah siang.”
“Iya, Ma…Huahem.”
Akhirnya hari pertama sekolah pun tiba. Liburan kemarin pastinya akan sangat menyenangkan kalau saja kejadian itu tidak ada.
“Ma, Mama seharusnya mengerti keadaan Papa. Papa capek Ma, Papa ingin istirahat.” Kenapa Mama mengajak Papa bertengkar terus?”
“Mama bukannya mengajak bertengkar Pa, Mama hanya ingin tahu sebenarnya selama Papa di luar kota, Papa kemana saja?”
“Apa harus Papa jawab?”

“Ya.”
“Papa bekerja,Ma.”
“Kita cerai saja,Pa.”
“Apa maksud Mama?”
“Papa sudah berani membohongi Mama.”
“Tapi…”
Pada saat itu, Papa dan Mama akan bercerai. Aku yang tiba-tiba diminta untuk memilih antara Mama dan Papa hanya bisa terdiam. Hatiku terpukul. Aku lari dari rumah tanpa tahu kemana tujuanku.
Aku pun berhenti di sebuah taman dan terduduk disana merenungi nasibku, merenungi hatiku yang harus memilih di antara dua orang yang paling kusayang.
Mengapa harus bercerai???
Apa tidak ada jalan yang lebih baik lagi selain bercerai???
Aku bingung. Kekalutan menyelimuti diriku.
Malam sudah kulewati, tapi aku masih tidak tahu kemana aku harus pergi. Akhirnya aku berjalan gontai, tanpa tahu arah mana yang dituju.
“Krrr…”
Perutku berbunyi. Aku baru ingat seharian kemarin aku tidak makan. Aku rogoh sakuku dan kutemukan dua lmbar uang seribuan dan empat keping uang lima ratusan.
“Hmm, cukup untuk membeli dua buah roti dan air minum.” Gumamku.
Aku pun mencari warung untuk membeli roti dan air minum. Aku meneruskan perjalananku ke sebuah halte bis. Aku mecoba memakan roti dan meminum air yang kubeli tadi.
Setelah aku menghabiskan makananku, aku terdiam karena teringat akan kejadian yang menimpaku. Aku ingin pulang, aku ingin menyatukan kedua orangtuaku lagi. Aku tak ingin mereka berpisah.
Akhirnya aku putuskan untuk pulang. Aku tahu, pasti mereka mencemaskan keadaanku. Tapi, bagaimana? Aku tak tahu jalan pulang. Kemarin aku hanya lari tanpa melihat arah yang kutuju. Tekadku sudah bulat untuk pulang. Aku mencoba menyusuri jalan yang kulewati tadi.
Hari sudah sore, dan aku belum juga sampai ke rumah. Aku lelah. Semalaman aku tidak tidur dan di siang hari aku terus berjalan. Air minumku habis. Tak ada yang bisa kumakan untuk mengisi tenagaku.
Penglihatanku mulai kabur, badanku lemas. Aku terjatuh, pingsan.
“Ngiung…ngiung…ngiung…”
“Ri, Tari… Ini Mama sayang.”
“Uh, Mama?”
Aku membuka mataku dan melihat sekelilingku. Kulihat Mama dan Papa berada disampingku.
“Kita dimana, Ma?” Tanyaku.
“Kita di rumah sakit, saying. Tadi Malam ada yang memberitahu Mama kalau kamu pingsan dan dibawa ke rumah sakit ini,” Jawab Mama.
Seketika aku teringat tentang alasanku kabur dari rumah kemarin, hingga aku terjatuh pingsan.
“Ma, Pa, Tari mohon kalian jangan bercerai. Apa Mama dan Papa tega melihat Tari menderita? Tari nggak mau kehilangan kalian. Tari nggak bisa kalau hanya tinggal dengan salah satu dari kalian. Tari ingin kalian berdua ada di sisi Tari,” Isakku.
Mama dan Papa tetap tidak bicara.
“apa tak ada jalan lain selain bercerai?” Kataku lagi.
“Tari, Papa nggak mau kalau harus meninggalkan kalian berdua, kau dan Mama,” Papa tiba-tiba berbicara.
Mama mendongak mendengar perkataan Papa. Ekspresi Mama yang hendak menyela dihentikan oleh Papa.
“Dengarkan dulu, Ma,”Papa memulai lagi pembicaraannya.
“Sewaktu Mama marah kemarin, Papa mencoba mengingat-ingat apa saja yang Papa lakukan di luar kota. Ketika Papa teringat sewaktu Papa sedang bertemu dengan salah satu klien perempuan Papa, dia pingsan dan Papa membawanya kembali ke hotel. Ternyata ada orang yang memanfaatkan momen itu dan mengirimkan foto ketika Papa masuk ke kamar klien untuk mengantarnya. Papa sudah tahu siapa yang mengirimkan foto itu kepada Mama.”
Mama terdiam mendengar penjelasan Papa tersebut.
“Mama sudah salah paham. Papa tak mungkin meninggalkan Mama. Cuma Mama yang bisa menerima Papa apa adanya,” Sambung Papa.
Mama menangis dan meminta maaf kepada Papa.
“Pa, maafkan Mama. Mama sudah menuduh Papa yang bukan-bukan. Mama minta maaf karena sudah meragukan Papa.”
“Iya, Ma. Papa tahu waktu itu Mama sedang emosi. Tapi sekarang Mama percayakan sama Papa?”
Iya, Pa. Mama percaya.”
“Jadi, Mama dan Papa nggak jadi bercerai kan?” Tanyaku kemudian.
“Nggak sayang,” Jawab mereka serempak.
“Tari sayang Mama dan Papa.”
Aku memeluk mereka erat, seakan mereka baru hadir kembali dalam hidupku. Lega rasanya mendengar bahwa mereka tidak jadi bercerai. Aku bisa melanjutkan kembali hidupku dengan tenang, dengan adanya Mama dan Papa disisiku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar